Perlindungan Dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Di Provinsi Sumatera Selatan

This title (paper) has been presented at International Knowledge virtual Conference 2021 (IKC2021) organised by Pustaka Negeri Sarawak. The paper was prepared by Sri Handayani, Muhamad Rasyid, Labib Rabbani,Irfan Hibatullah from Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

Abstract

Indonesia adalah negara dengan kekayaan dan keragaman budaya serta tradisi yang luar biasa. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional adalah bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat. Hukum memberikan sarana perlindungan terhadap sebuah karya cipta yang merupakan produk dari pikiran manusia. Dengan adanya Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, maka terhadap karya cipta yang dihasilkan dapat diberikan perlindungan. Bentuk nyata ciptaan-ciptaan yang dilindungi dapat berupa ilmu pengetahuan,seni,dan sastra. Perlindungan dimaksud adalah untuk melindungi Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional terhadap pemanfaatan yang dilakukan tanpa hak dan melanggar kepatutan. Penelitian ini adalah penelitan hukum empiris dengan menggunakan data primer yang didapat langsung dari lapangan. Provinsi Sumatera Selatan merupakan sebuah Provinsi di Indonesia. Ibu kotanya Palembang. Provinsi ini terdiri dari 17 kabupaten/kota. Dimana masing-masing kabupaten/kota tersebut memiliki Pengatahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Perlindungan yang dilakukan dengan inventarisasi dan mendokumentasi Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional asal Sumatera Selatan. Keragaman budaya ini harusnya menjadi fokus perhatian Pemerintah daerah. Karena kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi dapat meningkatkan kesejahteraan daerah tersebut.

Kata Kunci : Perlindungan dan Pemanfaataan, Kekayaan Intelektual, Pengetahuan Tradisional, Eskpres Budaya Tradional, Sumatera Selatan.

Pendahuluan

Kekayaan Intelektual (KI) adalah suatu sistem yang sekarang ini melekat pada tata kehidupan modern. Seperti juga pada aspek-aspek lain yang memberi warna pada kehidupan modern misalnya masalah lingkungan hidup serta persaingan usaha, hak kekayaan intelektual merupakan konsep yang relatif baru bagi sebagian besar negara, terutama negara-negara berkembang.

Secara normatif, HKI atau istilah terbaru adalah Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat KI) adalah “product of mind” atau oleh World Intellectual Property Organization atau WIPO disebut “creation of the mind” yang berarti suatu karya manusia yang lahir dengan curahan tenaga, karsa, cipta, waktu dan biaya. Segala jerih payah itu menjadi kontribusi yang memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu, setiap karya intelektual patut diakui, dihargai dan dilindungi baik secara moral dan etika maupun secara hukum.

Dari segi pranata, KI dibangun sebagai instrumen hukum yang berbasis pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak atas kreasi intelektual yang diberikan sebagaimana lazimnya hak milik yang mempunyai nilai ekonomi dan sekaligus menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.

Indonesia adalah negara yang keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya tersebut merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh Undang–undang. Kekayaan itu tidak semata–mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara.

Apabila kekayaan keragaman budaya dan tradisi itu dapat dikelola dengan baik dan benar, maka bukan tidak mungkin kebangkitan ekonomi Indonesia justru dipicu bukan karena kecanggihan teknologi, melainkan karena keindahan tradisi dan keragaman warisan budaya itu sendiri. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan adalah bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan.

Secara normatif hukum memberikan sarana perlindungan terhadap sebuah karya cipta yang merupakan produk dari pikiran manusia. Dengan adanya Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, maka terhadap karya cipta yang dihasilkan dapat diberikan perlindungan. Bentuk nyata ciptaan-ciptaan yang dilindungi dapat berupa ilmu pengetahuan,seni, dan sastra. Perlindungan dimaksud adalah untuk melindungi PTEBT terhadap pemanfaatan yang dilakukan tanpa hak dan melanggar kepatutan.

Perlindungan secara normatif terhadap hasil kebudayaan rakyat ini diatur dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang – undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta menyebutkan “Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.” Selain itu aturan hukum non KI yang melindungi PTEBT terdapat juga di Undang-undang Cagar Budaya, Hukum Adat dan RUU Kebudayaan.

Konsep-konsep cakupan perlindungan PTEBT sangat erat kaitannya dengan daerah sebagai “pengemban” budaya tradisional, sehingga pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota memegang tugas dan fungsi penting dalam perlindungan dan pemanfaatannya.

Negara adalah pemegang otoritas tertinggi, dan Pemerintah daerah sebagai representasi negara dalam perlindungan dan pengaturan PTEBT dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersialisasi oleh pihak asing tanpa seizin negara sebagai pemegang hak cipta.

Provinsi Sumatera Selatan merupakan sebuah Provinsi di Indonesia. Ibu kotanya Palembang. Provinsi ini terdiri dari 17 kabupaten/kota. Dimana masing-masing kabupaten/kota tersebut memiliki Pengatahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Misalnya mate laun (ilmu pengetahuan dalam pertanian), cerita rakyat Si Pahit Lidah, Serunting Sakti dari Kabupaten Lahat, Tarian Kreasi Daerah Ogan Komering Ulu, Tari Sambut Sekundang, Tari Sambang Berangkai dan lain-lain. Keragaman budaya ini harusnya menjadi fokus perhatian pemerintah daerah. Karena kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi dapat meningkatkan kesejahteraan daerah tersebut.

Permasalahannya adalah beberapa kekayaan intelektual dan Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia telah diakui sebagai milik bangsa lain.

Berkaitan dengan kepemilikan dan klaim-klain budaya oleh pihak asing ini, Pemerintah Daerah dalam hal ini Provinsi Sumatera Selatan sebagai penanggung jawab tunggal dalam penyelenggaraan Pemerintah di daerah, dalam menyelenggarakan otonomi daerah mempunyai kewajiban melestarikan dan melindungi nilai sosial budaya masyarakatnya serta dapat membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya.

Peraturan Perundang-undangan tentang otonomi daerah tidak secara langsung memberikan penjelasan tentang keterkaitan antara pemerintah daerah dengan sistem Kekayaai Intelektual (KI). Namun dalam hal ini perlu inisiatif dan kreatifitas pemerintah daerah untuk melindungi Pengetahuan Tradisional dan Eskpresi Budaya Tradisional masyarakatnya yang dikaitkan dengan KI khususnya Hak Cipta.

Selama ini perhatian Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan terhadap Pengetahuan dan Ekspresi Budaya Tradisional masih sebatas pada proses pencatatan, belum ada perlindungan dan pengaturan yang jelas terhadap potensi yang berasal dari Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional baik dari aspek ekonomi maupun aspek moral sehingga tidak dapat di manfaakan atau diklaim oleh pihak asing atau dikomersialisasi tanpa pembagian keuntungan (benefit sharing) untuk masyarakat pengemban.

Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang di bahas Bagaimana perlindungan dan pemanfaatan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Provinsi Sumatera Selatan?

Penelitian ini menggunakan tipe empiris dengan pendekatan statute approach dan (sociolegal approach). Sumber data primer berupa wawancara dan data seeekunder berupa peraturan perundangan-undangan yang berhubungan dengan penelitian.

Pembahasan

Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Propinsi Sumatera Selatan

Perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional berdasarkan potensi daerah diperlukan setidaknya karena 3 (tiga) alasan. Pertama, keanekaragaman yang dimiliki Indonesia baik yang hayati maupun budaya sangat melimpah. Antara satu daerah dengan daerah lain memiliki karakteristik dan potensi yang beragam. Karakteristik dan potensi tersebut memiliki nilai ekonomis untuk dimanfaatkan melalui cara-cara yang tepat dan benar. Kedua, adanya pengaturan KI di satu sisi menjadi pintu masuk negara-negara maju untuk dapat mengakses sumber daya genetik, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional Indonesia. TRIPs memberlakukan asas non-diskriminasi yang mengatur larangan perlakuan yang diskriminatif dari sebuah negara terhadap inventor dari negara lain yang hendak mendaftarkan patennya di negara tersebut meskipun paten yang didaftarkan didapatkan dari hasil penelitian dan pemanfaatan sumber daya genetik, pengetahuan tradisional dan foklor negara tersebut. Negara-negara maju dapat melakukan tindakan pemanfaatan kekayaan intelektual masyarakat di negara-negara berkembang melalui tindakan pencurian maupun penggunaan tanpa hak. Perlindungan dan pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional setidaknya untuk mencegah tindakan-tindakan tersebut. Ketiga, pengetahuan tradisional merupakan cultural identity atau identitas budaya sebuah masyarakat atau sebuah suku bangsa. Pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional merupakan bentuk upaya melestarikan kebudayaan Indonesia. Pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sebagai modal pembangunan pertama kali dilakukan dengan mengiventarisasi potensi-potensi yang dimiliki oleh tiap daerah antara lain potensi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang berkaitan dengan sumber daya manusia, sumber daya alam, lingkungan, dan infrastruktur. Dengan terinventarisasinya potensi pengetahuan tradisional tersebut, maka langkah selanjutnya adalah membuat perencanaan pemanfaatan dan pelaksanaan pemanfaatan yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam arti luas. Keterlibatan masyarakat di dalam pemanfaatan pengetahuan tradisional antara lain dapat dilakukan melalui metode kerjasama, baik antara perusahaan, peneliti, pemerintah, dan masyarakat lokal.

Pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang sinergi dengan potensi daerah akan menggerakkan pertumbuhan berkelanjutan di daerah dan menjadi modal pembangunan Indonesia. Langkah pertama pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dilakukan dengan mengiventarisasi potensi dan karakteristik daerah antara lain potensi sumber daya manusia, sumber daya alam, lingkungan, dan infrastruktur. Pemanfaatan selanjutnya dengan melakukan perencanaan dan melakukan kerjasama dengan melibatkan partisipasi seluruh elemen bangsa baik peneliti, akademisi, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan juga masyarakat yang bersangkutan yang memiliki pengetahuan tersebut untuk bisa dinikmati juga oleh generasi mendatang. Undang-undang Hak Cipta dalam melindungi budaya tradisional Indonesia, memberikan kontribusi pada lemahnya perlindungan budaya tradisional di Indonesia. Pemerintah, Pemerintah Daerah,maupun masyarakat harus berkomitmen untuk melakukan upaya perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Di era otonomi daerah, peran pemerintah daerah dalam mengelola budaya radisional sebagai aset intelektual daerah menjadi terbuka seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Permasalahan penting dalam perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya taradisional adalah tentang siapa pemilik dari sebuah pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Dalam keadaan tertentu, adakalanya seseorang menciptakan sebuah metode pengobatan tradisional atau ekspresi budaya tanpa melibatkan komunitas masyarakat sekitarnya. Tetapi tak jarang pula sebuah pengetahuan tradisional dimiliki oleh beberapa anggota masyarakat yang diperoleh dan diwariskan secara turun-temurun di dalam komunitas tersebut. Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional tersebut diketahui oleh hampir seluruh anggota masyarakat (common knowledge) dan bahkan hingga ke luar komunitas tersebut. Dalam konteks seperti ini akan ditemukan kesulitan untuk mengidentifikasi pemilik dari pengetahuan tradisional tersebut.

Secara konseptual, pengetahuan tradisional dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis berdasarkan kepemilikannya, yaitu:

(a)Pengetahuan individu yang dijaga kerahasiaannya secara turun-temurun oleh keturunannya saja. Pengetahuan ini memiliki akses yang terbatas dengan syarat-syarat tertentu.

(b)Pengetahuan komunitas yang hanya dapat digunakan dan disebarkan secara terbatas di dalam lingkup sebuah komunitas. Tidak jauh berbeda dengan pengetahuan individu, pengetahuan komunitas pun memiliki persyaratan yang ketat untuk dapat mengaksesnya.

(c)Pengetahuan yang menjadi milik publik (public domain) dimana pengetahuan tradisional tersebut telah dibuka dan dibagi secara bebas kepada anggota komunitas atau dengan orang luar komunitas.

Konsep kepemilikan seperti ini pun tidak mutlak bebas dari perebutan. Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sering menjadi kepemilikan yang diperebutkan ketika kepemilikannya secara tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Menurut Gupta, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang sering bertumpang tindih kepemilikannya dapat diuraikan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:

(a)Kreativitas individual yang dipelihara dan dirawat oleh komunitas, namun tersebar luas di masyarakat;

(b)Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional milik komunitas yang tersebar secara luas pada masyarakat umum dengan atau tanpa seizin anggota komunitas terlebih dahulu (prior informed consent);

(c)Pengetahuan dan ekspresi budaya individual yang tersebar dalam masyarakat luas dengan atau tanpa izin terlebih dahulu;

(d)Pengetahuan individual dan masyarakat.

Karya-karya dan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional ini kebanyakan diciptakan oleh masyarakat tradisional secara berkelompok. Sehingga bukanlah sesuatu yang aneh jika dalam sebuah pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional terdapat banyak orang yang memberikan sumbangan tenaga maupun pikiran di dalamnya. Secara prinsip pun masyarakat tradisional tidak mengenal hak individu karena harta kekayaan sendiri dianggap berfungsi sosial dan bermanfaat bagi umum. Dengan demikian para pencipta pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional seringkali tidak mementingkan hak individu di dalam karya-karyanya.

Berkaitan dengan prinsip ini, WIPO memberikan definisi dari pemilik pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yaitu semua orang yang menciptakan, mengembangkan, dan mempraktikkan pengetahuan tradisional dalam aturan dan konsep tradisional. Dengan demikian masyarakat asli, penduduk dan negara adalah pemilik dari pengetahuan tradisional komunitas tertentu. Karena itu perlindungan pengetahuan tradisional pun lebih condong ke arah kepentingan komunal dibandingkan kepentingan individual.

Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional diteruskan dari generasi ke generasi serta terbentuk dalam lembaga sosial adat dan merupakan kristalisasi dari cara, kebiasaan, serta adat yang ada. Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional ini menimbulkan hubungan timbal balik berupa kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga sumber dayanya. Berdasarkan hubungan timbal balik inilah maka komunitas lokal diposisikan sebagai pemegang hak atas pengetahuan tradisional tertentu.

Masyarakat adat tidak hanya berhak atas kepemilikan kolektif dari kekayaan intelektual tradisional yang mereka miliki, tetapi juga berhak untuk menguasai, mengembangkan, dan melindungi pengetahuan tradisional yang mencakup informasi tentang sumber daya genetik dan obat-obatan, pengetahuan tentang sifat flora dan fauna, serta kesenian tradisional sebagai manifestasi budaya.

Perbedaan konsep kepemilikan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional serta kekayaan intelektual pada umumnya adalah karena konsep kepemilikan yang berbeda antara hukum adat dan hukum perdata. Dari perspektif hukum perdata seringkali terdapat kekeliruan dimana pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional merupakan kekayaan yang tidak ada pemiliknya hingga pengetahuan tradisional tersebut ditemukan oleh individu, peneliti, negara, dan sebagainya. Paham ini mengabaikan fakta bahwa terdapat perbedaan konsep kepemilikan di dalam hukum adat yang dikenal oleh komunitas lokal pemilik pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Kepemilikan atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional bagi masyarakat adat dipandang bukan sebagai hak eksklusif seperti dalam rezim Kekayaan Intelektual. Kepemilikan atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional ini lebih dianggap sebagai tanggung jawab yang kemudian diturunkan kepada generasi selanjutnya di dalam lingkup internal komunitas tersebut.

Padahal konsep kepemilikan komunal ini penting perannya di dalam upaya pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekpresi budaya tradisional. Salah satunya adalah dalam menentukan penerima manfaat (beneficiaries) atas komersialisasi dan pemanfaatan pengetahuan tradisional. Identifikasi dari kepemilikan komunal ini juga merupakan dasar dari diterapkannya pembagian keuntungan dan kompensasi yang adil dan berimbang atas penggunaan, pemanfaatan, dan komersialisasi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.

Dalam berbagai diskusi baik di ranah nasional maupun internasional, kekayaan intelektual telah mengalami berbagai perkembangan. Salah satunya adalah dengan munculnya pandangan bahwa kekayaan intelektual tidak dapat dilepaskan dari hak-hak manusia yang asasi, baik secara individual maupun secara kesatuan yang terorganisasi. Dalam hubungan inilah kemudian pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional mendapatkan perlindungan di dalam kerangka perlindungan kekayaan intelektual. Setidaknya terdapat lima alasan yang mendasari pentingnya perlindungan hukum pengetahuan tradisional maupun ekspresi budaya tradisional, yaitu:

(a)Keadilan (equity),
Pengetahuan tradisional maupun ekspresi budaya tradisional yang dimanfaatkan dan dikomersialisasi mendapatkan hasil dari penggunaannya baik berwujud materiil maupun imateriil.

(b)Konservasi (conservation)
Perlindungan bagi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sama halnya dengan perlindungan bagi lingkungan, keanekaragaman hayati, dan kegiatan pertanian yang berkelanjutan;

(c)Memelihara praktik-praktik tradisional dan juga budaya (preservation)
Perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang baik tidak hanya akan menjaga praktik tradisional yang ada melainkan juga meningkatkan nilai serta kepercayaan masyarakat di dalam maupun di luar komunitas tersebut.

(d)Mencegah terjadinya penyalahgunaan oleh pihak yang tidak berhak.

(e)Sebagai sarana promosi atas pemanfaatan serta pentingnya pengembangan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional (promotion of its use). Selain upaya untuk membatasi akses terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional tersebut, pemerintah juga harus bertujuan untuk melakukan pemanfaatan dari pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional agar mencegah terjadinya penyalahgunaan.

Menurut Moni Wekesa, untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sebuah negara, ada tiga hal penting yang perlu dilakukan. Pertama yaitu pendokumentasian atau inventarisasi pengetahuan tradisional yang dilakukan melalui pembangunan database pengetahuan tradisional yang rinci. Kedua adanya kewajiban untuk mencantumkan asal dari bahan atau material yang akan diajukan perlindungan hukumnya melalui rezim kekayaan intelektual. Serta yang ketiga adalah untuk pihak yang ingin mencari pengakuan hukum dengan rezim kekayaan intelektual haruslah mampu menunjukkan bukti persetujuan, pemanfaatan, pembagian kepemilikan, serta pembagian keuntungan dari pengguna dan pemilik pengetahuan tradisional.

Dari ketiga hal tersebut, inventarisasi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional menjadi hal yang sangat penting karena tidak hanya sebagai sarana untuk melestarikan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional bagi generasi mendatang, melainkan juga untuk melindungi pengetahuan tradisional sebagai aset berharga di dalam sistem Kekayaan Intelektual. Sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional, kegiatan inventarisasi dan dokumentasi ini tergolong dalam bentuk perlindungan defensif (defensive protection).

Perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional secara defensif berguna untuk menjamin agar pihak lain tidak dapat memperoleh hak kekayaan intelektual atas suatu pengetahuan tradisional. Usaha ini menjadi perhatian khusus bagi forum internasional terutama semenjak dilaksanakannya United Nations International Year for the World’s Indigenous. Tujuannya adalah untuk melestarikan, melindungi, dan mengembangkan perwujudan budaya yang berasal dari masa lalu, sekarang, serta masa yang akan datang mulai dari bentuk seperti pusaka, desain, upacara, teknologi, seni visual, dan pertunjukan maupun sastra, serta hak menggugat pemberian ganti rugi atas harta budaya, intelektual, agama, dan spiritual mereka yang diambil tanpa izin yang bebas dan wajar atau yang bertentangan dengan hukum dan adat istiadat mereka.

Istilah perlindungan defensif sendiri merujuk kepada mekanisme perlindungan dengan tujuan untuk mencegah digunakannya rezim dan sistem Kekayaan Intelektual oleh pihak asing atas sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional khususnya di bidang obat-obatan. Dan ekspresi budaya tradisional . Perlindungan secara defensif tidak akan memberikan hak seperti yang ada dalam rezim Kekayaan Intelektual, melainkan bertujuan untuk mencegah dan menghentikan diberikannya hak-hak kepada pihak yang tidak berhak atas sebuah pengetahuan tradisional.

Pelaksanaan dari kegiatan inventarisasi pengetahuan tradisional dan ekspresi tradisional ini amat bergantung pada efektifitas dari dokumentasi yang bersangkutan. Meskipun tidak memberikan hak atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sebagaimana rezim Kekayaan Intelektual pada umumnya, dokumentasi ini dapat menjadi upaya untuk mempermudah pembuktian bahwa pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional tertentu adalah milik masyarakat tertentu. Inventarisasi dilakukan berdasarkan pemahaman bahwa pengetahuan tradisional yang dimiliki suatu masyarakat tidak lagi memerlukan proses pendaftaran karena hal tersebut sudah menjadi milik umum di negara tersebut.

Bentuk perlindungan hukum yang terjadi di masyarakat salah satunya yaitu perlindungan hukum secara preventif, yaitu perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan kewajiban.

Walaupun, pemerintah dalam hal ini telah membentuk suatu produk hukum yang tercantum dalam UUHC 2014, namun demikian belum cukup memadai untuk memberikan kepastian hukum kepada pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional di Indonesia.

Secara Nasional Perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional diatur dalam Pasal 38 UUHC 2014 yang diberlakukan di Indonesia yang menyebutkan:
(a)Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.
(b)Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(c)Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya.
(d)Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam penjelasan pasal 38 angka 1 UUHC 2014 menyatakan yang di maksud EBT mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut:
a. verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi informatif;
b. musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya;
c. gerak, mencakup antara lain, tarian;
d. teater, mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat;
e. seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai macam seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, ke ramik, kertas, tekstil, dan lain-lain atau kombinasinya; dan
f. upacara adat.

Dalam hal ini negara menjadi wakil bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menguasai pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang ada. Perwakilan oleh negara dimaksudkan untuk menghindari sengketa penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul diantara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Selain itu, penguasaan oleh negara menjadi penting khususnya apabila terjadi pelanggaran hak cipta atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisonal di Indonesia yang dilakukan oleh pelaku ekonomi. Selain itu negara berkewajiban untuk menginventarisas (mencatat) menjaga dan memelihara pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang ada di Indonesia. Ini di lakukan agar dapat menjadi data konkrit apabila kedepannya terjadi sebuah perselisihan untuk memperebutkan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional itu.

Dengan demikian peran negara sebagai pemegang hak cipta atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional adalah sebagai perwakilan dari seluruh masyarakat Indonesia dalam hal ini adalah masyarakat komunal atau masyarakat pengemban pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional ini untuk mencegah terjadinya penguasaan sepenunya terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional di Indonesia.

Perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisionaldan ekspresi budaya tradisional Sumatera Selatan perlu mendapat perhatian khusus mengiangat Sumatera Selatan kaya akan budaya tradisionalnya.

Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi Indonesia yang terletak di bagian Selatan Pulau Sumatera. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis Provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi di utara, Provinsi Kep. Bangka-Belitung di timur, Provinsi Lampung di selatan dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara. Selain itu ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.

Secara administratif Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 11 (sebelas) Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Pemerintah Kota, dengan Palembang sebagai ibukota provinsi. Pemerintah Kabupaten dan Kota membawahi Pemerintah Kecamatan dan Desa/Kelurahan, Provinsi Sumatera Selatan memiliki 11 Kabupaten, 4 Kotamadya, 212 Kecamatan, 354 Kelurahan, 2.589 Desa.

Masing-masing Kabupaten/kota tentunya mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Hal ini lah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah dalam rangka melindungi dan memanfaatkan kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang ada di Sumatera Selatan ini. Kita dapat lihat kebudayaan daerah asal Sumatera Selatan berikut ini:

1.Seni Tari Tradisional Sumater Selatan
Ada beberapa seni tari yang menjadi kekayaan seni dan budaya Sumatera Selatan diantaranya adalah Tari Madik (Nindai, Tari Mejeng Besuko, Tari Rodat Cempako, serta Tari Tenun Songket.

2. Lagu Daerah Sumatera Selatan
Selain rumah tradisional dan tari seperti yang tersebut di atas, Propinsi Sumsel juga memiliki beberapa lagu daerah di antaranya adalah Cuk Mak Ilang, Dek Sangke, Gending Sriwijaya, dan Kabile-bile



3. Rumah adat Palembang Rumah Limas

Rumah adat / rumah tradisional orang Palembang mempunyai sebutan Rumah Bari yang benama asli Rumah Limas, pada umumnya berbentuk dasar hampir sama dengan rumah-rumah adat yang ada di sebagian daerah di Nusantara, yaitu rumah panggung, dan material yang digunakan pada umumnya dari kayu.


4.Pakaian adat Palembang Kain Songket Palembang

Indonesia kaya sekali dengan aneka ragam kebudayaan daerah, diantaranya kain - kain khas daerah yang memiliki corak serta bahan khas dari daerah masing - masing. Sebagai orang Indonesia, Mode Dengan Kain Songket Palembang tentu kita sangat bangga dengan aneka ragam kain daerah yang ada di Indonesia ini.

5.Seni Musik Tradisional Palembang Jidur

Musik Jidur sudah terkenal di seluruh Sumatera Selatan, entah kapan lahirnya musik ini. Nama musik Jidur ini di bawa oleh kaum kolonial yang akhirnya menjadi musik kolonial. Musik ini sering di bawakan pada saat acara pernikahan dan acara perayaan lainnya.


Kota Palembang juga selalu mengadakan berbagai festival setiap tahunnya antara lain "Festival Sriwijaya" setiap bulan Juni dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Palembang, Festival Bidar dan Perahu Hias merayakan Hari Kemerdekaan, serta berbagai festival memperingati Tahun Baru Hijriah, Bulan Ramadhan dan Tahun Baru Masehi.

Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:
(a)Festival perahu hias dan lomba bidar di Sungai Musi
(b)Kesenian Dul Muluk (pentas drama tradisional khas Palembang)
(c)Tari-tarian seperti Gending Sriwijaya yang diadakan sebagai penyambutan kepada tamu-tamu dan tari Tanggai yang diperagakan dalam resepsi pernikahan.
(d)Syarofal Anam adalah kesenian Islami yang dibawa oleh para saudagar Arab dulu, dan menjadi terkenal di Palembang oleh KH. M Akib, Ki Kemas H. Umar dan S. Abdullah bin Alwi Jamalullail.
(e)Lagu Daerah seperti Melati Karangan, Dek Sangke, Cuk Mak Ilang, Dirut dan Ribang Kemambang.
(f)Letak geografis dari Palembang dibelah oleh sungai Musi dan dikelilingi ratusan anak sungai, rawa-rawa di sebagian besar wilayah daratannya. Pada tepian sungai banyak terdapat Rumah Limas yang pintunya menghadab ke sungai, dan alat transportasi air seperti perahu, kapal dan getek menjadi alat transportasi utama yang banyak digunakan mayarakat di tepian sungai.
(g)Sebutan untuk Sungai-sungai yang bermuara ke Sungai Musi adalah Batang hari Sembilan terdiri dari Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Enim, Sungai Hitam, Sungai Rambang dan Sungai Lubay. Seiring perkembangan zaman, dan perubahan pola hidup masyarakat Palembang, lingkungan perairan sungai dan rawa justru semakin menyempit. Rumah- rumah limas yang tadinya berdiri bebas di tengah rawa atau di atas sungai akhirnya dikepung perkampunga.

Kalau kita lihat kondisi sekarang suatu tantangan besar bagi pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan dan pemanfataan kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional, apa yang telah dilakukan pemerintah daerah sejauh ini adalah inventarisasi terhadap pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional Sumatera Selatan. Inventarisasi yang baru dilakukan di beberapa kabupaten belum semua daerah terinventaris.

Inventarisasi yang dilakukan sejauh ini di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara Enim dan Lahat. Langkah ini dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Kantor Wilayah Sumatera Selatan, dengan Surat Perintah Nomor : W6.HI.07.04-0146 Tahun 2016 tentang Pembentukkan Tim Inventarisasi Kekayaan Komunal Sumatera Selatan.

Penutup

Berdasarkan dari uraian hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :
Perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional Sumatera Selatan sudah dilakukan dengan menginventarisasi PTEBT asal Sumsel walaupun belum dilakukan dengan maksimal. Adanya Peraturan Daerah guna memberikan Perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang merupakan identitas dan jati diri suatu daerah. Selain itu juga sebagai implementasi kebijakan daerah mengenai mekanisme pemanfaatan dan perlindungan hak kekayaan intelektual di bidang kebudayaan.

Daftar Pustaka

A.Buku–Buku:

• Achmad Zen Umar Purba, 2005, Hak Kekayaan Intektual Pasca TRIP’s, PT. Alumni,Bandung.

• Eddy Damain, 1999, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undang-undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Alumni, Bandung.

• Keith E. Markus, 2000, Intellectual property Right in The Global Economy, Institute for Inter national Economic, Washington,D.C.

• Muhamad Syaifuddin,2009, Hukum Hak asasi Manusia dan demokrasi Lokal: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Sipil dan Politik Warga Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan daearh Demokrasi), Tunggal Mandiri Publishing, Malang.

• Ranti Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam era Perdagangan Bebas, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

• Robert M. Sherwood, 1990, Intellectual Property and Economic Development: westview Special Studies in Science Technology and Public Policy, Wetview Press Inc. San Fransisco.

• Tim Lindsey dan Eddy Damian, 2006, Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar, PT Alumni, Bandung.

• Zainul Daulay, 2011, Pengetahuan Tradisional, Konsep Dasar Hukum dan Praktiknya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.

B. Perundang-undangan

• Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

• Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan dan pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional

Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No. M.03 PR.07.10 Tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Surat nomor 24/M/PAN/1/2000 istilah “Hak Kekayaan Intelektual” (tanpa “Atas”), telah resmi dipakai. Hak kekayaan Intelektual disingkat “H.K.I”, namun Penulis di sana sini menggunakan akronim “HaKI” untuk sekedar kemudahan penyebutan Lihat A. Zen umar Purba “Pokok-pokok Kebijakan Pembangunan Sistem HaKI Nasional” (makalah disampaikan dalam “Advanced Seminar: Prospect and Implementation of Indonesian Copyrigh, Patent and trademark Law”, Perhimpunan Masyarakat HaKI Indonesia, Jakarta, 1 Agustus 2000) dan telah diterbitkan dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 13, April 2001, (Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2001)pp-4-8.

Istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) telah diubah menjadi Kekayaan Intelektual (KI) PP Nomor 44 Tahun 2015

Mboi E. Misati, “The WIPO Development Agenda : Maximising On The Patent System”, kipi.go, www.kipi.go.ke/patents/WIPO-DA Articles 040209,pdf, diakses tanggal 2 Pebruari 2017; Mapani Ch

Tim Lindsey dan Eddy Damian, Hak Kekayan Inteltual, Suatu Pengantar, Bandung, PT. Alumni, 2006, hlm.79.

Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementeriaan Hukum dan HAM RI 2014, hlm. 3

Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintah oleh Pemerintah dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Pasal 2 UU Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014).

Pasal 12 ayat (1) huruf f dan ayat (2) hurup p Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Ahmad Zen Umar Purba, Sistem Haki Nasional dan Otonomi Daerah, Makalah disampaikan pada acara seminar nasional, Implementasi Undang-undang Desain Industri dan Merek, diselenggarakan bekerjasama Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Fakultas Hukum Universitas Manado, Yayasan Klinik HaKi,JIII,APIC, Asosiasi alumni JIII Indonesia, didukung oleh JPO dan Ditjen HaKI Departemen Kehakiman dan HAM, Manado, 18 Februari 2002.

Rohaini,“Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Melalui Pengembangan Sui Generis Law”. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 9. No. 4. 2015,, hlm. 443-444.

Zainul Daulay, Pengetahuan Tradisional: Konsep, Dasar Hukum, dan Praktiknya. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta,2011., hlm. 68-70.

Ibid, hlm. 70-71

Kanti Rahayu, “Arti Penting Folklore dan Traditional Knowledge Bagi Indonesia Sebagai “The Country of Origin””, CERMIN Majalah Ilmiah Universitas Pancasakti Tegal, No. 047, 2010, hlm. 8-9.

Ibid, hlm. 9-10.

Miranda Risang Ayu, dkk., Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, Bandung, Alumni, 2014., hlm. 157-159.

Ibid.

Ibid, hlm. 161.

Ibid, hlm. 161-162.

Rohaini, Op. Cit., hlm. 434-435.

Ibid., hlm. 435-436

Ibid, hlm. 435

Endang Purwaningsih, Seri Hukum Hak Kekayaan Intelektual: Hukum Paten, Bandung: C.V. Mandar Maju, 2015, hlm. 210.

Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, Bandung: P.T. Alumni, 2010, hlm. 284.

Rohaini, Op. Cit., hlm. 430

Afrillyana Purba, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 2012, hlm. 323-324.

Ibid., hlm., 20.

Riski Kusumastuti, “tinjuan hukum internasional terhadap upaya perlindungan pengetahuan tradisional milik negara-negara berkembang”, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Univesitas Indonesia, 2006), Hlm : 131.

tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang di maksud belum juga di keluarkan